Jumat, 22 April 2011

PENDEKATAN ARTISTIK SUPERVISI

SEBUAH PENDEKATAN ARTISTIK
DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN
Diterjemahkan oleh mahasiswa S2 Unlam
Kls B angkatan 2010

Salah satu ironi dalam pendidikan kontemporer adalah bahwa meskipun mengajar seringkali dianggap sebagai sebuah seni atau sebuah kerajinan, tetapi mengajar seringkali dipelajari seolah-seolah mengajar itu adalah sains. Hampir semua guru akan mengatakan bahwa mengajar itu jauh dari ilmiah. Tetapi penelitian pengajaran dan pelaksanaan supervise, pada umumnya, telah dilakukan dengan menggunakakn metode dan asumsi ilmiah.
Apabila seseorang mengatakan “He’s got it down to a science,” hal tersebut berarti bahwa seseorang tersebut telah menguasai prosedur yang bisa dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dari waktu ke waktu. Untuk melakukannya secara ilmiah berarti melakukannya dengan rutinitas yang bisa diprediksi, bisa mencapai target setiap waktu.
Apabila seseorang mengatakan ‘state of the art’, hal itu berarti bahwa praktik atau implikasi lapangan belum lagi bersifat ilmiah, melainkan hanya sebuah seni, dan seiring berjalannya waktu keilmiahannya akan muncul. Seni pada kontek ini bersifat kurang dapat diandalkan dan tidak dipahami secara penuh.
Arti dari istilah sain dan seni itu tidak cukup memadai untuk mengkarakteristikan sain maupun seni. Istilah tersebut hanya merupakan indikasi cara orang berpikir mengenai sain dan seni dalam konteks pendidikan dan penelitian pendidikan. Implikasi dari makna konotasi tersebut penting untuk mengungkapkan aspirasi tersirat dan hal tersebut juga penting bagi asosiasi supervise pengajaran dari praktik yang dilandasi seni ke praktik yang dilandaskan sain.
Hubungan antara supervisor dengan guru bersifat hirarki dan hirarki adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan manusia. Dalam konteks hubungan supervisor dan yang disupervisi terlihat bahwa supervisor mempunyai hak untuk mengatakan kepada yang disupervisi bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan. Percakapan atau pertukaran pikiran antara keduanya untuk meningkatkan pengalaman dibidang pendidikan cenderung hilang.

A. Kesalahan-Kesalahan Dalam Supervise Ilmiah
Beberapa masalah telah tercipta karena memperlakukakn pengajaran secara ilmiah dan karena mengimplikasikan supervisi sebagai manajemen ilmiah pengajaran. Beberapa dari masalah tersebut adalah:

1. Fallacy of Additivity/Salah menambahkan
Fallacy of additivity yang dilakukan dengan cara berusaha mempelajari pengajaran menggunakan prosedur yang menyiratkan atau mengasumsikan bahwa kejadian dalam tingkah laku pengajaran tertentu – struktur, pemberian contoh, penguatan negative dan positif dan yang lainnya – semua mempunyai bobot pedagogis yang sama dan bisa ditambahkan untuk mengamankan indek dari kualitas mengajar.
Contohnya, lebih banyak siswa yang berinisiatif untuk bertanya lebih bagus daripada guru yang berinisiatif bertanya; percakapan tak langsung lebih baik daripada percakapan langsung. Apa yang diabaikan disini adalah kualitas interaksi itu sendiri. Diskusi tidak selalu lebih baik daripada ceramah. Diskusi yang diikuti oleh terlalu banyak siswa adalah sesuatu yang konyol sehingga metode ceramah adalah brilian. Hal yang sebaliknya bisa juga terjadi. Hanya mencatat kejadian-kajadian dan kemudian menambahkan skor tidaklah cukup, yang lebih buruk lagi cara pengapresian yang salah terjadi dalam kelas tersebut.

2. Fallacy of Composition/Salah komposisi
Masih berkaitan dengan fallacy of additivity adalah fallacy of composition, yang berarti keseluruhan itu sama dengan jumlah total dari bagian-bagian. Hal ini dilakukan ketika kualitas pengajaran ditentukan dengan cara menghitung frekuensi tingkah laku guru pada sebuah variable dan kemudian menambahkan jumlah skor yang diperoleh dari variable yang lain. Metode ini menilai kualitas mengajar berdasarkan ada dan tidak adanya karakteristik yang berbeda. Karenanya, satu observasi guru berisi 14 variabel karakteristik. Masing-masing variable berisi 4 sampai 7 sub variable. Tiga orang observer menilai guru tersebut berdasarkan sub variable dengan menggunakan skala nilai 7. nilai dari masing-masing sub variable kemudian ditambahkan ke masing-masing variable dan nilai total muncul untuk masing-masing dari ke 7 variabel utama tersebut. Pengajaran yang sangat bagus seharusnya ditunjukan oleh nilai yang tinggi pada ke 7 variable utama.
Tetapi bagaimana jika seorang guru sangat bagus pada 3 variabel tetapi lemah di 4 variabel lainnya? Tidak mungkinkah kesempurnaan dari ketiga variable tersebut mengalahkan ke 4 variabel yang lain? Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa ada kelemahannya. Seseorang tidak bisa begitu saja menambahkan nilai semua bagian untuk mendapatkan jumlah total. Keseluruhan itu kadang-kadang bernilai lebih dan kadang-kadang bernilai kurang dari jumlah total bagian-bagiannya.

3. Fallacy of Concreteness
Kesalahan ini merupakan hasil dari tingkah laku yang berpendapat bahwa hal utama dalam observasi adalah manifestasi tingkah laku siswa. Di sini jelas bahwa bebrapa orang yang mempelajari pengajaran atau yang men supervise merupakan pembaca yang bonafide. Tingkah lakku adalah hal utama dalam observasi, tetapi tingkah laku bukanlah satu-satunya hal utama atau yang paling penting. Ketika kita mengobseravsi siswa atau guru kita tidak ahanya melihat tingkah laku yang mereka tunjukkan tetapi juga arti dari tingkahlaku tersebut dan kualitas pengalaman mereka. Bahkan istilah tingkah laku di sini menjadi salah kaprah, karena istilah tersebut menyatakan bahwa tindakan seseorang hanyalah merupakan gerakan badan, padahal seharusnya padahal tingkahlaku merupakan kegiatan karena adanya motivasi, tujuan dan aspirasi dan merupakan cerminan dari banyak hal.
Manifestasi tingkahlaku adalah, pada umumnya, sebuah petunjuk yang mana dari petunjuk tersebut kita dapat membangun arti secara imajinatif. Memahami apa yang kita temui memberikan lebih banyak arti daripada hanya mencatat kejadiannya. Karenanya, kesalahan kekongkritan menyebabkan mengabaikan apa yang tidak bisa kita lihat.


4. Fallacy of the Act
Fallacy of the Act adalah masalah yang muncul pada penggunaan pendekatan ilmiah untuk mengajari pengajaran dan melakukan supervisi. Hal ini dikarenakan kecenderungan untuk mengabaikan proses kehidupan pendidikan pada saat proses tersebut diperlihatkan di kelas dan di sekolah. Selama bertahun-tahun paradigma penelitian ilmu pengetahuan sosial dalam praktek pendidikan adalah eksperimen klasik. Yang dicari adalah pengisolasian variabel yang membuat perbedaan signifikan pada hasil siswa. Untuk dapat menemukan variabel ini dan menentukan kontribusi variabel tersebut terhadap belajar mengajar dianggap sebagai metode yang paling berat.

B. Pendekatan Artistik Supervisi
Yang dimaksud dengan artistic disini adalah sebuah pendekatan supervise yang terletak pada sensitivitas, persepsi, dan pengetahuan supervisor sebagai sebuah cara mengapresiasikan kejadian-kejadian yang terjadi di ruang kelas dan yang mengeksploitasi potensi bahasa yang puitis, ekpresif dan metaforis untuk menyampaikan pada guru juga pada orang lain yang keputusannya mempengaruhi apa yang terjadi di sekolah mengenai apa yang telah diobservasi. pendekatan supervise seperti ini, manusia merupakan instrumen untuk mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
Definisi kedua dari kata artistic diselaraskan dengan music. Seorang pendengar music yang baik bukan hanya mendengar tetapi menyimak music tersebut. Demikian juga dengan kerja seorang supervisor, ketika melihat seorang guru mengajar, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah yang berkaitan dengan karakter dan kualitas pengajaran sebagai suatu keseluruhan dan juga berbagai macam bagian yang ada didalamnya. Hal kedua adalah bahwa setiap guru mempunyai gaya dan kekuatan mereka sendiri. Seorang supervisor yang berorientasi artistic mampu mengenali gaya tersebut dan akan membantu guru tersebut mengembangkan gaya tersebut ke arah yang positif.
Sayangnya kunjungan supervisor yang hanya 40 menit hanyalah cukup untuk mengindentifikasi masalah pengajaran. Terlebih lagi, aspek pengajaran yang harus dimodifikasi bisa saja merupakan kebiasaan dan kebutuhan sehingga feedback sederhana tidaklah cukup untuk mengubah hal tersebut. Kebiasaan guru tidak akan berubah hanya dengan sebuah paragraph atau dua rekomendasi yang diberikan oleh supervisor. Untuk melakukan perubahan kebiasaan tersebut diperlukan perhatian dan dukungan yang besar. Di sisi apresiatif, pendekatan artisitik pada supervise mempunyai dua tujuan dalam menilai kinerja, yaitu pendekatan ini mengapresiasi kualitas kinerja secara keseluruhan dan pendekatan ini juga akan mengapresiasi karakter pengajaran yang berbeda.

3. Kandungan Dalam Persepsi
Dalam supervise ada hal-hal yang mudah untuk dilihat seperti prosentase kalimat yang diucapkan oleh guru yang kemudian dibandingkan dengan kalimat yang diucapkan oleh murid. Kalimat-kalimat yang diucapkan secara tidak lengkap juga bisa dihitung. Tetapi dalam pendekatan artistik yang akan lebih dilihat adalah hal-hal seperti karakter ekspresif yang sedang dilakukan oleh guru dan murid, pesan yang terkandung dalam aksi-aksi yang mereka lakukan di kelas. Pendekatan artistic akan berusaha memahami pengalaman apa yang diperoleh guru dan murid, bukan hanya menghitung jumlah atau menggambarkan tingkah laku yang mereka lakukan. Bagaimana sebuah situasi memberi arti pada orang-orang di dalamnya dan bagaimana aksi-aksi yang ada pada situasi tersebut menciptakan arti bagi orang-orang di dalamnya adalah hal-hal yang dipelajari pada pendekatan artistic pada supervise.
Pada sisi apresiatif supervise, apresiasi bisa diberikan secara pribadi, tidak harus dilakukan di depan publik. Tetapi karena hal tersebut akan berguna bagi yang lainnya jika dapat dibagi kepada public. Sisi yang lain adalah sisi kritik membangun. Kritik yang dimaksud disini adalah kritik seperti kritik film, kritik seni, kritik musik dan juga kritik drama. Kritik tersebut akan berguna bagi guru dan yang lainnya. Mengenai kritik Dewey mengatakan “ the end result criticism is the reeducation of the perception of the work of art.” Adapun fungsi dari kritikan menurut penulis adalah membantu mengapresiasi apa yang sudah terjadi. Supervisor dapat melakukan hal ini dengan cara mengembangkan kemampuan memberikan apresiasi karena dalam proses tersebut juga terkandung proses pemberian kritik. Cara kedua adalah kemampuan menyampaikan kepada yang lain dengan menggunakan bahasa yang ekspresif dan artistic mengenai apa yang sudah terjadi.
Lalu bagaimana dengan krtitik pendidikan? Nilai pendidikan bisa disimpulkan dari suasana yang tercermin dari kelas tersebut, hubungan antara guru dan murid dan juga karakter tugas yang diberikan. Kemampuan melihat situasi sangat penting bagi seorang supervisor. Salah satu peran supervisor adalah membuat orang-orang bisa menangkap aspek situasi yang seringkali tidak diapresiasi. Kefamilieran dan kebiasaan yang biasanya memberikan respon secara otomatis dan yang memberikan kontribusi terhadap tindakan yang efisien biasanya akan membuat seseorang tidak melihat satu karakter yang sangat penting. Berapa dari kita yang telah mengajar selama sepuluh atau duapuluh tahun yang mengetahui apa yang tidak lihat pada kelas kita sendiri? Yang sama pentingnya dengan kemampuan untuk menggambarkan adalah kemampuan untuk menterjemahkan akan yang telah dilihat dan menilai nilai pendidikannya.
Penterjemahan adalah sebuah proses mengadaptasi teori ke dalam apa yang sudah dilihat dan gambarkan.

Maka apa yang dikatakan mengenai karakteristik dari pendekatan artistic supervise? Apa saja yang merupakan fitur yang penting? Delapan fitur penting tersebut adalah:
1. Pendekatan artistic supervise memerlukan perhatian baik untuk kejadian yang berekspresi maupun yang tak berekspresi, bukan hanya menilai kehadirannya atau arti harafiahnya.
2. Pendekatan artistic supervise memerlukan pendidikan tingkat tinggi, kemampuan untuk melihat apa yang penting walaupun hanya sedikit.
3. Pendekatan artistic supervise mengapresiasi kontribusi guru untuk perkembangan pendidikan anak yang sifatnya unik, maupun kontribusi seorang guru yang sama dengan kontribusi guru yang lain.
4. Pendekatan artisitk supervise membuuthkan perhatian yang diberikan kepada proses suasana kelas dan proses ini diobserve dalam jangka waktu yang lama sehingga hal-hal yang penting bisa diletakkan secara berurutan.
5. Pendekatan artistic supervise memerlukan hubungan baik yang dibangun antara supervisor dan yang disupervisi sehingga percakapan dan juga rasa percaya bisa dibangun diantara keduanya.
6. Pendekatan artistic memerlukan kemampuan untuk menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga bahasa tersebut dapat digunakan untuk mengekspresikan karakter yang telah dilihat.
7. Pendekatan artistic supervise memerlukan kemampuan untuk memahami arti kejadian-kejadian yang terjadi pada mereka yang mengalami kejadian tersebut dan bisa mengapresiasi sisi kependidikannya.
8. Pendekatan artistic supervise dapat menerima fakta bahwa supervisor indivisu dengan segala kelebihannya, kesensitifannya dan pengalamannya merupakan instrument utama yang dengan instrument tersebut situasi pendidikan dapat diterima dan arti pendidikan dapat dipahami.

DAFTAR PUSTAKA
Mantja W. Prof.Dr. 2003. Bahan ajar model pembinaan / Supervisi pengajaran
( Bagi Program S-2 Manajemen Pendidikan PPS Unlam hal. 136 - 149 )
Diterjemahkan oleh mahasiswa S2 Unlam Kls B angkatan 2010. Ninit K, S.Nasution,Supardi,Trivonara,Arpiah, Supriyadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar